Home / Rubrik / Berita

Mengenal Sosok KH Agus Salim, Pejuang Kemerdekaan yang Dijuluki "The Grand Old Man"

gambar-headline
Bandung Post Views: 469

Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak lepas dari peran para pejuang. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, banyak pejuang muslim yang memiliki peran besar dalam memerdekakan bangsa dari penjajah Belanda maupun Jepang.

Mereka bukan hanya berjuang dengan fisik, tapi juga dengan spirit keagamaan yang kuat, menjadikan Islam sebagai inspirasi dalam memperjuangkan kemerdekaan.

 

Salah satu pejuang muslim yang berjuang memerdekakan Indonesia ialah Kiai Haji (KH) Agus Salim. Beliau memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi.

Nama asli KH. Agus Salim ialah Mashadul Haq yang berarti pembela kebenaran. Beliau lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Beliau anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri.

 

Pada usia mudanya, KH Agus Salim menguasai sedikitnya 7 bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903, KH Agus Salim lulus dari Hogere Burgerschool (HBS) di usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Kiprahnya sebagai pejuang, politisi, jurnalis, hingga diplomat sangat berpengaruh pada masa awal kemerdekaan.

 

KH. Agus Salim memulai perjalanan perjuangannya sebagai anggota Sarekat Islam (SI), salah satu organisasi dengan jumlah masa terbesar waktu itu. Pada tahun 1919, beliau turut mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh, yang berfokus pada perjuangan hak-hak buruh di Indonesia.

Pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia, KH Agus Salim menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga menjadi anggota Panitia Sembilan, yang berperan dalam penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebelum berkecimpung dalam kegiatan politik melalui Sarekat Islam, hidup KH Agus Salim cukup gelisah. Beliau berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.

 

Awalnya, KH Agus Salim bekerja sebagai penerjemah dan kemudian pembantu notaris. Sesudahnya, ia merantau ke Indragiri dan Riau hingga akhirnya ke Jeddah, Arab Saudi.

Di Arab, KH Agus Salim mempelajari Islam secara mendalam sambil bekerja di kantor konsulat Belanda untuk memenuhi keinginan orang tuanya yang kerap mendesaknya menjadi pegawai negeri. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mempelajari seluk-beluk diplomasi internasional yang akan sangat berguna baginya.

KH Agus Salim meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap pribadi muslim yang sadar akan tugas serta kewajibannya di tengah masyarakat. Sebagai hasil ijtihad, yang dipeloporinya, maka pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri.

KH Agus Salim menyelidiki Al-Qur'an dan mengadakan perbandingan ajaran-ajaran Islam dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dunia Barat. Akhirnya, beliau membuat kesimpulan bahwa kemunduran umat Islam pada kala itu karena salah menafsirkan ajaran Islam.

 

Dirinya dikenal sebagai diplomat ulung Indonesia dan disegani di kancah Internasional. Bakatnya yang luar biasa dalam menguasai bahasa asing membuat sosoknya gemilang.

Pada masa awal kemerdekaan, KH Agus Salim turut berperan dalam merancang UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin Soekarno. Jasanya yang paling penting adalah misi diplomatiknya yang memperkenalkan negara Indonesia ke luar.

Puncak kemenangan diplomasi Indonesia adalah perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Kepiawaian KH Agus Salim berdiplomasi ini pun terus dilakukan saat ia menjadi menteri luar negeri di masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan kabinet Hatta.

 

Kiprahnya di forum internasional ialah pada 23 Maret 1947 ketika dirinya ditunjuk sebagai wakil ketua Delegasi RI di Inter-Asian Relations Conference di India. Konferensi tersebut diselenggarakan atas prakarsa Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru.

Lalu, pada Oktober 1950 KH Agus Salim ditunjuk menghadiri 11th Conference Institute of Pacific Relations di Lucknow, India serta Colloquium on Islamic Culture di Princeton, Amerika Serikat pada Agustus 1953.

Di kalangan diplomatik, KH Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Old Man yakni sebuah bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.

 

KH Agus Salim meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 4 November 1954. Pengabdiannya kepada bangsa dan negara diakui oleh pemerintah, dan pada tanggal 27 Desember 1961, ia secara resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

 

 


Author

img-author

Sinta Guslia

10 bulan yang lalu