Mengeluarkan harta dalam Islam tak hanya melalui infak dan sedekah, tetapi juga bisa dengan cara hibah. Apa itu hibah?
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yakni hiba yang artinya pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih dalam bentuk apa pun. Hibah ini dilakukan saat seseorang atau satu pihak masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda lain yang tak tergolong sebagai harta atau benda berharga. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hibah adalah pemberian (dengan sukarela) yang mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 1666, hibah adalah suatu pemberian oleh seseorang yang masih hidup kepada orang lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Berbeda dengan harta warisan, biasanya hibah dapat dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan atau hubungan darah. Itulah mengapa hibah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam urusan sosial, kenegaraan, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Hukum Hibah
Hibah memiliki hukum sunah dalam Islam. Pemberian harta atau properti secara sukarela dikategorikan sebagai bentuk tolong menolong kepada orang yang membutuhkan.
Dalam Islam, hukum hibah didasarkan pada ayat 4 surat An-Nisa yang berbunyi:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,"
Rukun Hibah dalam Islam
Dalam pelaksanaannya, terdapat empat rukun hibah yang harus dipenuhi sesuai dengan aturan dalam agama Islam, di antaranya:
1. Pemberi (Wahib)
Pihak pemberi hibah perlu memenuhi persyaratan agar dapat melangsungkan proses sesuai syariah Islam. Berikut persyaratan pemberi hibah : merdeka atau mampu secara finansial, balig atau sudah dewasa, berakal sehat dan merupakan pemilik sah dari barang yang dihibahkan.
2. Penerima (Mauhub Lah)
Tidak ada syarat tertentu untuk penerima hibah. Namun, diperlukan wali yang sah apabila penerima masih di bawah umur atau orang yang tidak berakal sehat.
3. Barang yang Dihibahkan (Mauhub)
Sama seperti pemberi hibah, barang yang dihibahkan perlu memenuhi persyaratan tertentu agar prosesnya dianggap sah.
Berikut persyaratannya :
Benar-benar ada.
Merupakan milik pemberi.
Bernilai.
Dapat dimiliki zatnya.
Tidak terhubung dengan tempat pemberi hibah, seperti tanaman dari rumah pribadi tanpa tanahnya.
Sifat pemberian khusus untuk pihak penerima saja.
4. Tanda serah terima (shighat)
Menurut para ulama fikih, terdapat dua jenis tanda serah terima atau shighat, di antaranya shighat perkataan (lafaz) yang disebut dengan istilah ijab dan qabul, serta yang kedua yaitu shighat perbuatan, seperti penyerahan barang secara langsung tanpa adanya ijab qabul.
Jenis Hibah
Berikut adalah dua macam atau jenis hibah yang perlu Anda ketahui, di antaranya:
1. Hibah Barang
Sesuai namanya, hibah barang merupakan jenis hibah ketika pemberi memberikan barang atau harta yang bernilai manfaat kepada penerima tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sebagai contoh, Anda menghibahkan mobil, sepeda motor, pakaian, dan barang lainnya.
2. Hibah Manfaat
Jenis yang kedua adalah hibah manfaat, yaitu ketika pemberi memberikan harta atau barang kepada pihak penerima, tetapi barang tersebut masih menjadi miliki si pemberi. Dengan harapan, barangnya akan dimanfaatkan oleh pihak penerima. Dalam hal ini, penerima hanya memiliki hak pakai atau hak guna saja.
Manfaat Hibah
Hibah adalah sesuatu yang mulia. Manfaat hibah bisa dirasakan oleh pemberi dan penerimanya.
Misalnya, pemberi hibah dalam bentuk tanah akan mendapatkan pahala ketika tanahnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial, seperti pembangunan tempat ibadah, sekolah, dan lainnya.
Adapun penerima hibah dapat merasakan manfaat finansial yang nyata. Barang hibah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kepentingan lainnya.
Tidak Ada Balas Hibah
Lebih lanjut, penerima hibah tidak memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan atau balas jasa atas hadiah yang diterima. Ini berarti tidak ada persyaratan atau ketentuan yang mengharuskan penerima hibah memberikan kompensasi setelah menerima hibah.
Barang yang telah dihibahkan juga tidak dapat ditarik kembali, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi sebagai berikut,
Artinya: "Orang yang mencabut kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya." (HR Bukhari)
Itulah pembahasan seputar hibah yang merupakan kegiatan serah terima barang secara sukarela berdasarkan hukum Islam. Pemberian barang hibah merupakan sesuatu yang disunahkan dalam Islam. Barang bernilai bisa memberikan manfaat bagi penerimanya.
Semoga bermanfaat..
Author
Sinta Guslia